UUML
no2/1981
Isi UUML no2/1981
BAB I KETENTUAN
UMUM
BAB II SATUAN
- SATUAN
BAB III STANDAR-STANDAR
SATUAN
BAB IV ALAT-ALAT
UKUR, TAKAR, TIMBANG DAN PERLENGKAPANNYA (UTTP)
BAB V TANDA
TERA
BAB VI BARANG
DALAM KEADAAN TERBUNGKUS (BDKT)
BAB VII PERBUATAN
YANG DILARANG
BAB VIII KETENTUAN
PIDANA
BAB IX PENGAWASAN
DAN PENYIDIKAN
BAB X ATURAN
PERALIHAN
BABXI KETENTUAN
PENUTUP
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
2 TAHUN 1981
TENTANG
METROLOGI
LEGAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa untuk melindungi kepentingan
umum perlu adanya jaminan dalam kebenaran pengukuran serta adanya ketertiban
dan kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukuran, standar satuan, metoda
pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya;
b. bahwa pengaturan tentang alat-alat
ukur, takar, timbang dan perlengkapannya sebagaimana ditetapkan, dalam
Ijkordonnantie 1949 Staatsblad Nomor 175 perlu diganti, karena sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan perekonomian dan kemajuan teknologi, serta sesuai
dengan Sistem Internasional untuk satuan (SI);
c. bahwa untuk mencapai tujuan sebagai
dimaksud diatas perlu mengaturnya dalam suatu Undang-undang tentang Metrologi
Legal.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.
Dengan persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG METROLOGI LEGAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini
dan Peraturan Pelaksanaannya dengan:
a.
Metrologi
adalah ilmu pengetahuan tentang ukur-mengukur secara luas;
b.
Metrologi
Legal adalah metrologi yang mengelola satuan-satuan ukuran, metodametoda pengukuran
dan alat-alat ukur, yang menyangkut persyaratan teknik dan peraturan
berdasarkan Undang-undang yang bertujuan melindungi kepentingan umum dalam hal
kebenaran pengukuran;
c.
Konvensi
Meter (la Convention du Metre) ialah suatu perjanjian internasional yang
bertujuan mencari dan menyeragamkan satuan-satuan ukuran dan timbangan, yang
ditandatangani dan diselenggarakan di Paris pada tanggal 20 Mei 1875 oleh para
utusan yang berkuasa penuh dari 17 Negara;
d.
Konperensi
Umum untuk Ukuran dan Timbangan (la Conference Generale des Poids et Mesures)
ialah konperensi yang diadakan berdasarkan Konvensi Meter;
e.
Biro
Internasional untuk Ukuran dan Timbangan (le Bureau International des Poids et
Mesures) ialah Biro yang dibentuk berdasarkan Konvensi Meter;
f. atuan Sistem international (le Systeme
International d'Unites) selanjutnya disingkat SI ialah satuan ukuran yang
sistemnya bersumber pada suatu ukuran yang didapat berdasarkan atas satuan
dasar yang disahkan oleh Konperensi Umum untuk Ukuran dan Timbangan;
g. satuan dasar ialah satuan yang
merupakan dasar dari satuan-satuan suatu besaran yang dapat diturunkan menjadi
satuan turunan;
h. lambang satuan ialah tanda yang
menyatakan satuan ukuran;
i. standar satuan ialah suatu ukuran yang
sah dipakai sebagai dasar pembanding;
j. standar induk satuan dasar ialah
standar satuan yang diterima dari Biro Internasional untuk Ukuran dan Timbangan
yang diangkat sebagai Standar Nasional atau Standar Tingkat Satu;
k. alat ukur ialah alat yang
diperuntukkan atau dipakai bagi pengukuran kuantitas dan atau kualitas;
l. alat takar ialah alat yang
diperuntukkan atau dipakai bagi pengukuran kuantitas atau penakaran;
m. alat timbang ialah alat yang
diperuntukkan atau dipakai bagi pengukuran massa atau penimbangan;
n. alat perlengkapan ialah alat yang
diperuntukkan atau dipakai sebagai pelengkap atau tambahan pada alat-alat ukur,
takar atau timbang, yang menentukan hasil pengukuran, penakaran atau
penimbangan;
o. alat penunjuk ialah bagian dari alat
ukur, yang menunjukkan hasil pengukuran;
p. tempat usaha ialah tempat yang
digunakan untuk kegiatan-kegiatan perdagangan, industri, produksi, usaha jasa,
penyimpanan-penyimpanan dokumen yang berkenaan dengan perusahaan, juga
kegiatan-kegiatan penyimpanan atau pameran barang-barang, termasuk rumah tempat
tinggal yang sebagian digunakan untuk kegiatan-kegiatan tersebut;
q. menera ialah hal menandai dengan tanda
tera sah atau tanda tera batal yang berlaku, atau memberikan
keterangan-keterangan tertulis yang bertanda tera sah atau tanda tera batal
yang berlaku, dilakukan oleh pegawai-pegawai yang berhak melakukannya
berdasarkan pengujian yang dijalankan atas alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya
yang belum dipakai;
r. tera ulang ialah hal menandai berkala
dengan tanda-tanda tera sah atau tera batal yang berlaku atau memberikan
keterangan-keterangan tertulis yang bertanda tera sah atau tera batal yang
berlaku, dilakukan oleh pegawai-pegawai yang berhak melakukannya berdasarkan pengujian
yang dijalankan atas alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang
telah ditera;
s. menjustir ialah mencocokkan atau
melakukan perbaikan ringan dengan tujuan agar alat yang dicocokkan atau
diperbaiki itu memenuhi persyaratan tera atau tera ulang;
t. Menteri ialah Menteri yang bertanggung
jawab dalam bidang Metrologi Legal.
BAB II
SATUAN-SATUAN
Pasal 2
Setiap satuan ukuran yang berlaku sah
harus berdasarkan desimal, dengan menggunakan
satuan-satuan
SI.
Pasal 3
(1) a. Satuan dasar besaran panjang adalah
meter;
b. Satuan
dasar besaran massa adalah kilogram;
c. Satuan
dasar besaran waktu adalah sekon;
d. Satuan
dasar besaran arus listrik adalah amper;
e. Satuan
dasar besaran suhu termodinamika adalah kelvin;
f. Satuan
dasar besaran kuat cahaya adalah kandela;
g. Satuan dasar besaran kuantitas zat
adalah mole.
(2) Definisi yang berlaku bagi satuan-satuan dasar seperti
tersebut pada ayat (1) pasal ini adalah definisi terbaru yang ditetapkan oleh
Konperensi Umum untuk Ukuran dan Timbangan.
Pasal 4
Lambang satuan dari satuan-satuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 Undang-undang ini adalah sebagai berikut:
|
Satuan
|
Lambang Satuan
|
|
meter
|
m
|
|
kilogram
|
kg
|
|
sekon
|
s
|
|
amper
|
A
|
|
kelvin
|
kg
|
|
kandela
|
cd
|
|
mole
|
mol
|
Pasal 5
(1) Kecuali yang ditentukan dalam ayat (2)
pasal ini, kelipatan-kelipatan dan bagian-bagian desimal dari satuan-satuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang ini, jika kelipatan-kelipatan
dan bagian-bagian itu tidak dinyatakan dengan sebuah bilangan di depan satuan
atau lambang satuan dari satuan-satuan yang bersangkutan, maka di depan satuan
atau lambang satuan tersebut dapat dinyatakan dengan membubuhkan salah satu
dari awal kata atau lambang berikut:
|
Kelipatan/bagian desimal
|
|
Awal kata
|
Lambang
|
|
|
1E+18
|
=
|
10^18
|
eksa
|
E
|
|
1E+15
|
=
|
10^15
|
peta
|
P
|
|
1E+12
|
=
|
10^12
|
tera
|
T
|
|
1000000000
|
=
|
10^9
|
giga
|
G
|
|
1000000
|
=
|
10^6
|
mega
|
M
|
|
1000
|
=
|
10^3
|
kilo
|
k
|
|
100
|
=
|
10^2
|
hekto
|
h
|
|
10
|
=
|
10^1
|
deka
|
da
|
|
0.1
|
=
|
10^-1
|
desi
|
da
|
|
0.01
|
=
|
10^-2
|
senti
|
c
|
|
0.001
|
=
|
10^-3
|
mili
|
m
|
|
0.000001
|
=
|
10^-6
|
mikro
|
u
|
|
0.000000001
|
=
|
10^-9
|
nano
|
n
|
|
1E-12
|
=
|
10^-12
|
piko
|
p
|
|
1E-15
|
=
|
10^-15
|
femto
|
f
|
|
1E-18
|
=
|
10^-18
|
atto
|
a
|
(2) Seperseribu (0,001) bagian dari
kilogram adalah gram yang dinyatakan dengan lambing satuan g.
Kelipatan-kelipatan dan bagian-bagian desimal dari kilogram, jika tidak
dinyatakan dengan sebuah bilangan di depan satuan atau lambang dari satuan kilogram
ini, maka harus dinyatakan dalam satuan gram.
Pasal
6
Derajat Celcius dari skala suhu dalam pemakaian secara
umum yang titik nolnya sama dengan 273,15 K adalah sama dengan derajat kelvin.
Pasal 7
Dengan
Peraturan Pemerintah ditetapkan:
a. satuan-satuan turunan dari satuan-satuan dasar baik mengenai
besaran-besaran, satuan-satuan maupun lambang-lambang satuannya;
b. satuan-satuan tambahan baik mengenai besaran-besaran,
satuan-satuan maupun lambang-lambang satuannya;
c. satuan-satuan lain yang berlaku dengan
ketentuan-ketentuan dalam pemakaiannya.
BAB III
STANDAR-STANDAR SATUAN
Pasal 8
Standar-standar
induk untuk satuan-satuan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang
ini disebut Standar Nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
Tatacara
pengurusan, pemeliharaan dan pemakaian Standar Nasional yang dimaksud dalam Pasal
8 Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
Susunan
turunan-turunan dari Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang
ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1). Standar Nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 Undang-undang ini dibina oleh suatu lembaga yang khusus dibentuk
untuk itu.
(2). Susunan organisasi dan tata kerja lembaga
tersebut dalam ayat (1) Pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB IV
ALAT-ALAT UKUR, TAKAR,
TIMBANG DAN PERLENGKAPANNYA
Pasal
12
Dengan
Peraturan Pemerintah ditetapkan tentang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya
yang:
a. Wajib ditera dan ditera ulang;
b. dibebaskan dari tera atau tera ulang,
atau dari kedua-duanya;
c. syarat-syaratnya harus dipenuhi.
Pasal 13
Menteri
mengatur tentang:
a. pengujian dan pemeriksaan alat-alat
ukur, takar, timbang dan perlengkapannya;
b. pelaksanaan serta jangka waktu
dilakukan tera dan tera ulang;
c. tempat-tempat dan daerah-daerah dimana dilaksanakan tera dan
tera ulang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk jenis-jenis
tertentu.
Pasal 14
a. Semua alat-alat ukur, takar, timbang
dan perlengkapannya yang pada waktu ditera atau ditera ulang ternyata tidak
memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c
Undang-undang ini dan yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi, dapat dirusak
sampai tidak dapat dipergunakan lagi, oleh pegawai yang berhak menera atau menera
ulang.
b. Tatacara pengrusakan alat-alat ukur,
takar, timbang dan perlengkapannya diatur oleh Menteri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
Pegawai
yang berhak menera atau menera ulang berhak juga untuk menjustir alat-alat
ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang diajukan untuk ditera atau ditera
ulang apabila ternyata belum memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf c Undang-undang ini.
Pasal 16
(1) Untuk pekerjaan tera dan tera ulang
atau pekerjaan-pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan pengujian alat-alat
ukur, takar, timbang dan perlengkapannya dikenakan biaya tera.
(2) Biaya tera sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) pasal ini, ditetapkan dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Untuk
membuat dan atau memperbaiki alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya
harus memperoleh izin Menteri.
Pasal
18
Setiap
pemasukan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya ke dalam wilayah Republik
Indonesia harus dengan izin Menteri.
BAB V
TANDA TERA
Pasal 19
(1). Jenis-jenis tanda tera:
a.
tanda sah;
b.
tanda batal;
c.
tanda jaminan;
d.
tanda daerah;
e.
tanda pegawai yang berhak.
(2). Pengaturan mengenai ukuran, bentuk,
jangka waktu berlakunya, tempat pembubuhan dan cara membubuhkan tanda-tanda
tera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut oleh
Pemerintah.
Pasal 20
(1) Tanda sah dibubuhkan dan atau dipasang
pada alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang disahkan pada
waktu ditera atau ditera ulang.
(2) Tanda batal dibubuhkan pada alat-alat
ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang dibatalkan pada waktu ditera atau
ditera ulang.
(3) Tanda jaminan dibubuhkan dan atau
dipasang pada bagian-bagian tertentu dari alat-alat ukur, takar, timbang atau
perlengkapannya yang sudah disahkan untuk mencegah penukaran dan atau
perubahan.
(4) Tanda daerah dan tanda pegawai yang
berhak dibubuhkan pada alat-alat ukur, takar, timbang atau perlengkapannya,
agar dapat diketahui dimana dan oleh siapa peneraan dilakukan.
(5) Tanda sah dan tanda batal yang tidak
mungkin dibubuhkan pada alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya
diberikan surat keterangan tertulis sebagai penggantinya.
Pasal 21
Surat
keterangan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) Undang-undang
ini adalah bebas dari bea materai.
BAB VI
BARANG DALAM KEADAAN
TERBUNGKUS
Pasal 22
(1) Semua barang dalam keadaan terbungkus
yang diedarkan, dijual, ditawarkan atau dipamerkan wajib diberitahukan atau dinyatakan
pada bungkus atau pada labelnya dengan tulisan yang singkat, benar dan jelas
mengenai .
a. nama barang dalam bungkusan itu;
b. ukuran, isi, atau berat bersih barang
dalam bungkusan itu dengan satuan atau lambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, Pasal 5 dan Pasal 7 Undangundang ini;
c. jumlah barang dalam bungkusan itu jika
barang itu dijual dengan hitungan.
(2) Tulisan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) pasal ini harus dengan angka Arab dan huruf latin disamping huruf
lainnya dan mudah dibaca.
Pasal 23
(1) Pada tiap bungkus atau label
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang ini wajib dicantumkan nama
dan tempat perusahaan yang membungkus.
(2) Semua barang yang dibuat atau
dihasilkan oleh perusahaan yang dalam keadaan tidak terbungkus dan diedarkan
dalam keadaan terbungkus, maka perusahaan yang melakukan pembungkusan
diwajibkan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang
ini serta menyebutkan nama dan tempat kerjanya.
Pasal
24
Pengaturan
mengenai barang-barang dalam keadaan terbungkus sesuai Pasal 22 dan Pasal 23
Undang-undang
ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
BAB VII
PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 25
Dilarang
mempunyai, menaruh, memamerkan, memakai atau menyuruh memakai:
a. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau
perlengkapannya yang bertanda batal;
b. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang
tidak bertanda tera sah yang berlaku atau tidak disertai keterangan pengesahan
yang berlaku, kecuali seperti yang tersebut dalam Pasal 12 huruf b Undang-undang
ini;
c. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau
perlengkapannya yang tanda teranya rusak;
d. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang
setelah padanya dilakukan perbaikan atau perubahan yang dapat mempengaruhi
panjang, isi, berat atau penunjukkannya, yang sebelum dipakai kembali tidak
disahkan oleh pegawai yang berhak.
e. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau
perlengkapannya yang panjang, isi, berat atau
penunjukkannya menyimpang dari nilai
yang seharusnya daripada yang diizinkan berdasarkan Pasal 12 huruf c
Undang-undang ini untuk tera ulang;
f. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya
yang mempunyai tanda khusus yang memungkinkan orang menentukan ukuran, takaran,
atau timbangan menurut dasar dan sebutan lain daripada yang dimaksud dalam
Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang ini;
g. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya
untuk keperluan lain daripada yang dimaksud dalam atau berdasarkan
Undang-undang ini;di tempat usaha; di tempat untuk menentukan ukuran atau
timbangan untuk kepentingan umum; di tempat melakukan penyerahan-penyerahan; di
tempat menentukan pungutan atau upah yang didasarkan pada ukuran atau
timbangan.
Pasal
26
Dilarang
menawarkan untuk dibeli, menjual, menawarkan untuk disewa, menyewakan, mengadakan
persediaan untuk dijual, disewakan atau diserahkan atau memperdagangkan secara
bagaimanapun juga:
a. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau
perlengkapannya yang bertanda tera batal;
b. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang
tidak bertanda tera sah yang berlaku, atau tidak disertai keterangan pengesahan
yang berlaku, kecuali seperti yang tersebut dalam Pasal 12 huruf b
Undang-undang ini;
c. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau
perlengkapannya yang tanda jaminannya rusak.
Pasal 27
(1). Dilarang memasang alat ukur, alat
penunjuk atau alat lainnya sebagai tambahan pada alat-alat ukur, takar atau
timbang yang sudah ditera atau yang sudah ditera ulang.
(2). Alat-alat ukur, takar atau timbang yang
diubah atau ditambah dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
diperlakukan sebagai tidak ditera atau tidak ditera ulang.
Pasal 28
Dilarang
pada tempat-tempat seperti tersebut dalam Pasal 25 Undang-undang ini memakai atau
menyuruh memakai:
a. alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya dengan cara lain atau dalam kedudukan lain daripada yang
seharusnya;
b. alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya untuk mengukur, menakar atau menimbang melebihi kapasitas
maksimumnya;
c. alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya untuk mengukur, menakar, menimbang atau menentukan ukuran
kurang daripada batas terendah yang ditentukan berdasarkan Keputusan Menteri.
Pasal 29
(1) Dilarang menggunakan sebutan dan
lambang satuan selain yang berlaku menurut Pasal 7 Undang-undang ini pada
pengumuman tentang barang yang dijual dengan cara diukur, ditakar, ditimbang,
baik dalam surat kabar, majalah atau surat tempelan, pada etiket yang dilekatkan
atau disertakan pada barang atau bungkus barang atau pada bungkusnya sendiri,
maupun pemberitahuan lainnya yang menyatakan ukuran, takaran atau berat.
(2) Larangan tersebut dalam ayat (1) pasal
ini tidak berlaku terhadap pemberitahuan:
a. tentang
benda tidak bergerak yang terletak di luar wilayah Republik Indonesia;
b.
tentang benda yang bergerak yang dikirim ke luar wilayah Republik Indonesia.
(3) Pada benda bergerak yang dijual
menurut ukuran, takaran, atau timbangan di dalam bungkusnya yang asli harus
dicantumkan sebutan atau lambang satuan yang berlaku menurut Pasal 7 Undang-undang
ini tatkala benda itu dimasukkan ke wilayah Republik Indonesia.
Pasal 30
Dilarang
menjual, menawarkan untuk dibeli, atau memperdagangkan dengan cara apapun juga,
semua barang menurut ukuran, takaran, timbangan atau jumlah selain menurut
ukuran yang sebenarnya, isi bersih, berat bersih atau jumlah yang sebenarnya.
Pasal 31
Dilarang
membuat, mengedarkan, membungkus atau menyimpan untuk dijual, atau menawarkan
untuk dibeli, semua barang dalam keadaan terbungkus yang ukuran, isi bersih, berat
bersih atau jumlah hitungannya:
a. kurang daripada yang tercantum pada
bungkus atau labelnya, atau
b. menyimpang dari ketentuan yang
ditetapkan dalam Pasal 22 Undang-undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 32
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang
tercantum dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-undang ini
dipidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(2) Barangsiapa melakukan perbuatan yang
tercantum dalam Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-undang ini dipidana penjara
selama-lamanya 6 (enam) bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 500.000,-
(lima ratus ribu rupiah).
(3) Pelanggaran terhadap perbuatan yang
tercantum dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang
ini dipidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Pasal
33
(1) Perbuatan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Undangundang ini adalah kejahatan.
(2) Perbuatan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (3) Undang- undang ini adalah pelanggaran.
(3) Barang yang menjadi bukti kejahatan
dan atau pelanggaran dapat dirampas untuk kepentingan Negara.
Pasal 34
(1) Suatu perbuatan kejahatan atau
pelanggaran yang berdasarkan Undang-undang ini diancam hukuman apabila
dilakukan oleh suatu badan usaha, maka tuntutan dan atau hukuman ditujukan
kepada:
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud ayat
(1) pasal ini meliputi perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pengurus,
pegawai atau kuasanya yang karena tindakannya melakukan pekerjaan untuk badan
usaha yang bersangkutan.
a. pengurus, apabila berbentuk badan
hukum;
b. sekutu aktif, apabila berbentuk
persekutuan /perkumpulan orang-orang;
c. pengurus, apabila berbentuk
yayasan;
d. wakil atau kuasanya di Indonesia,
apabila kantor pusatnya berkedudukan di luar wilayah Republik Indonesia.
(3) Bila orang-orang tersebut dalam ayat
(1) sub a, b, c, dan d pasal ini ternyata tidak bersalah atas perbuatan itu,
maka tuntutan dan hukuman dikenakan kepada mereka yang sengaja memimpin
melakukan, menyuruh melakukan atau karena kelalaiannya mengakibatkan perbuatan
kejahatan atau pelanggaran.
(4) Apabila ternyata perbuatan orang-orang
tersebut pada ayat (2) pasal ini yang oleh karenanya menyebabkan pelaksanaan
kewajiban keuangan, maka kewajiban tersebut dibebankan kepada badan usaha yang
bersangkutan.
(5) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud
ayat (1) pasal ini dilakukan oleh badan usaha lain yang bertindak atas namanya,
maka ketentuan ayat (1) sub a, b, c, dan d pasal ini berlaku juga untuk badan
usaha lain tersebut.
Pasal 35
(1) Alat-alat ukur, takar, timbang dan
atau perlengkapannya yang disita tetapi tidak dirampas, tidak dikembalikan
kepada yang berhak sebelum barang-barang itu atas biayanya ditera atau ditera
ulang.
(2) Penyitaan dilakukan menurut tatacara
yang ditentukan oleh Hukum Acara Pidana yang berlaku.
BAB IX
PENGAWASAN DAN
PENYIDIKAN
Pasal 36
(1) Pegawai instansi Pemerintah yang
ditugasi dalam pembinaan Metrologi Legal yang melakukan pengawasan dan
pengamatan diwajibkan menyidik tindak pidana yang ditentukan dalam
Undang-undang ini.
(2) Instansi Pemerintah yang ditugasi
dalam pembinaan Metrologi legal dalam melaksanakan tugas tersebut dalam ayat
(1) pasal ini dapat meminta bantuan kepada instansi Pemerintah yang melakukan
pengawasan dan pengamatan dalam bidangnya masing-masing yang ada hubungannya
dengan pengukuran, penakaran dan atau penimbangan.
(3) Pegawai tersebut pada ayat (1) pasal
ini berhak melakukan penyegelan, dan atau penyitaan barang yang dianggap
sebagai barang bukti .
(4) Pegawai tersebut pada ayat (1) pasal
ini dapat melaksanakan tugasnya di tempattempat tersebut pada Pasal 25
Undang-undang ini dalam waktu terbuka untuk umum.\
(5) Pegawai tersebut pada ayat (1) pasal
ini dapat melaksanakan tugasnya antara pukul 06.00 sampai pukul 18.00 waktu
setempat di tempat-tempat yang tidak boleh dimasuki umum, yang seluruhnya atau
sebagian dipakai sebagai tempat yang dimaksud dalam Pasal 25 Undang-undang ini.
(6) Jika dalam waktu tersebut pada ayat
(4) dan ayat (5) pasal ini pegawai yang melakukan penyidikan tidak
diperkenankan masuk, maka mereka masuk dengan bantuan penyidik Kepolisian
Republik Indonesia.
(7) Penyidikan dilakukan menurut tatacara
yang ditentukan oleh Hukum Acara Pidana yang berlaku.
BAB X
ATURAN PERALIHAN
Pasal 37
Alat-alat
ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang disahkan berdasarkan Ijkordonnantie
1949 Staatsblad Nomor 175, dapat disahkan pada waktu tera ulang jika sifatsifat
ukurnya memenuhi syarat batas-batas kesalahan yang ditentukan berdasarkan
Undangundang ini, tanda-tanda, sebutan-sebutan atau nilai-nilai yang disebut
padanya masih tampak terang dan tahan lama.
Pasal 38
Ketentuan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah ada yang tidak bertentangan
dengan ketentuan Undang-undang ini masih tetap berlaku sampai peraturan tersebut
dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
(1) Pada saat berlakunya Undang-undang ini
maka Ijkordonnantie 1949 Staatsblad Nomor 175 dinyatakan dicabut dan tidak
berlaku lagi.
(2) Hal-hal yang belum atau belum cukup
diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundang-undangan
Pasal 40
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 April 1981
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 April 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUDHARMONO, SH.
No comments:
Post a Comment